OSKM ITB 2015 telah berlalu dan menyisakan jutaan kenangan
yang sulit dilupakan bagi mahasiswa baru, panitia OSKM, dan seluruh massa
kampus. Persiapan keras yang dilakukan panitia sekitar 3 bulan telah terbayar
dalam 3 hari ini dalam pesta kaderisasi terbesar di ITB yang membawa tema Metamorfosis Insan Akademis dengan
sangat memuaskan (bagi saya pribadi). Sepertinya tidak cukup dengan hanya kata
‘terimakasih’ untuk setiap acara mulai dari talkshow, mentoring, hingga
acara-acara yang penuh kejutan dan bisa dibilang ‘niat banget’. Tentunya ada
kesalahan-kesalahan yang tak bisa dielakkan, dan semoga kami yang mungkin
menjadi panitia selanjutnya dapat memperbaikinya. Namun lebih dari itu semua
saya harus mengakui bahwa acara ini benar-benar berhasil mengubah mindset saya dan mahasiwa baru lainnya
secara umum dalam mananggapi banyak hal, oleh karena itu saya ucapakan
“Terimakasih” sekali lagi untuk Panitia OSKM.
![]() |
nb: Foto mengenai OSKM diperoleh di Official Account FB OSKM ITB 2015 |
Baik, saya ingin mempertegas lagi bahwa OSKM benar-benar
telah berlalu. Tidak ada lagi penyambutan dengan acara besar-besaran untuk kita
(mahasiswa baru ITB). Tidak ada bendera yang dikibarkan disetiap kedatangan kita. Tidak ada lagi euforia
kebanggaan akan lulus di ITB, dan seharusnya hal ini telah kami sadari sejak 9
Juni 2015 (bagi lulusan SNMPTN) atau 9 Juli 2015 (bagi lulusan SBMPTN). Memang
seharusnya tidak ada kebanggaan yang berlebihan yang terkadang menjurus pada
kesombongan. Bahkan sempat terpikir untuk menghapus postingan saya dalam
berbagai media yang ada unsur-unsur kebanggaan yang berlebihan (semoga saja
tidak ada), namun itu bukanlah sikap profesional, maka tidak jadi saya hapus
(sepi dong nanti blog saya). Mungkin begitulah skenario seharusnya karena OSKM berhasil menjalankan fungsinya.
Rasa bangga itu tentunya tidak muncul tiba-tiba. Mulai dari
diri sendiri, lingkungan, dan sejarah. Satu hal yang menarik adalah ‘plesetan’
dari kepanjangan ITB yang entah dari mana menjadi "Institut Terbaik Bangsa", bisa
jadi karena memang begitulah adanya menurut berbagai survey. Namun ‘plesetan’
ini berdampak pada hal-hal lainnya yang ikut-ikutan menjadi “Terbaik Bangsa”,
pada hal-hal formal seperti ucapan “Selamat Datang Putra-Putri Terbaik Bangsa”
sampai pada hal-hal yang bisa dikatakan sedikit menggelikan, contohnya beberapa
penjual ponco (lihat gambar di bawah bagi yang tidak tahu apa itu ponco) yang mempromosikan barang dagangannya dengan “Ayo dibeli, mas.
Ini Ponco Terbaik Bangsa! Fokus, mas!” -padahal itu cuma ponco, bro-. Sebenarnya itu merupakan
hal-hal yang wajar saja jika ditanggapi dengan wajar dan selow, namun jika direnungi itu menjadi suatu beban, beban yang
berat.
![]() |
Ponco |
Beban apaan sih? Saya coba memisalkan mahasiswa ini dengan
ponco, maaf sebelumnya. Ponco sebelum menjadi ponco yang dijual dengan jargon
terbaik bangsa tersebut pasti mengalami proses produksi. Seharusnya bahan-bahan yang telah dikumpulkan merupakan bahan-bahan
yang telah terseleksi sehingga pantas untuk disebut “Bahan Ponco Terbaik
Bangsa”. Lalu bahan-bahan tersebut seharusnya
diolah oleh “Pembuat Ponco Terbaik Bangsa” dengan menggunakan “Teknik
Membuat Ponco Terbaik Bangsa”. Jika telah selesai dan seharusnya benar-benar siap diperjualbelikan, maka pedagang yang bukan merupakan “Pedagang Terbaik Bangsa”
boleh mempromosikannya dengan jargon tersebut. Namun jika pembeli ponco
tersebut mendapatkan ponco tersebut tidak sesuai harapan seperti bahan mudah rusak,
tidak melindunginya dari hujan, jahitan yang kurang sempurna, atau cacat sekecil apapun maka kualitas “Ponco
Terbaik Bangsa” mulai diragukan. Seandainya hal buruk ini tidak terjadi maka
bisa saja pedagang tersebut disebut sebagai “Penjual Ponco Terbaik Bangsa”.
Memang benar ini terkesan lebay, karena tidak mungkin ponco
yang sesempurna itu ada. Tentunya juga penjual tersebut sah-sah saja
mempromosikan ponconya dengan jargon tersebut. Begitu juga penjual-penjual lain
baik di lingkungan ganesha ataupun di seantero negeri yang mengklaim barangnya
sebagai terbaik bangsa. Tapi jika dikaitkan lagi ke institut ini selalu timbul
pertanyaan yang sama, apakah kita benar-benar terbaik bangsa?
Ketika OSKM kami sering diwanti dengan “Institut ini besar
bukan karena sejarah, tapi karena mahasiswanya”. Itulah beban yang
sesungguhnya, beban yang seharusnya dirasakan
setiap mahasiswa di ITB. Saya termasuk diantara maba yang ‘telat’ menyadari hal
tersebut, maba yang dengan mudahnya mengucapkan “Untuk Tuhan, Bangsa, dan
Almamater” . Saya menyadari hal tersebut ketika salah satu even yang
mempertemukan maba FMIPA dengan kakak-kakak tingkat FMIPA dalam suatu forum,
salah seorang dari mereka menanyakan pada kami semua tentang apa salah satu
tanggung jawab kami sebagai mahasiswa. Awalnya tidak ada yang berani mengangkat
tangan, sampai saya dengan ‘sok berani’ menjawab pertanyaan tersebut yang malah
dianggap tidak sesuai dengan pertanyaan. Malu mungkin iya, tapi saya mendapat
suatu pemahaman yang luarbiasa. Sejak saat itu saya sadar bahwa saya belum
memahami seutuhnya keberadaan saya di kampus ini. Singkatnya saya memang
benar-benar belum bermetamorfosis menjadi insan akademis, insan yang diharapkan
oleh bangsa sebagai problem solver atas masalah yang begitu banyak di negeri ini.
Saya yakin bahwa banyak maba yang telah menjadi pribadi yang
dibutuhkan tanpa perlu lagi bermetamorfosis. Atau banyak juga yang fase
metamorfosisnya tingkat sedikit lagi menuju insan tersebut. Dan tentunya ada
yang sangat-sangat butuh kerja keras agar dapat bermetamorfosis, saya yakin
salah satunya adalah saya. Lalu seandainya suatu saat kita berhasil menjadi
insan akademis apakah kita akan menyelesaikan masalah bangsa lain? Semoga saja
tidak. Semoga suatu saat itu kita benar-benar melakukannya untuk Tuhan, Bangsa,
dan Almamater.
“We shall overcome.. We shall overcome..
We shall overcome someday..
Oh deep in my heart, I do believe that we shall overcome someday..”
We shall overcome someday..
Oh deep in my heart, I do believe that we shall overcome someday..”
nb: Bagi yang ingin mendengarkan lagu diatas versi KM-ITB, bisa klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar