Pada sore Kamis kemarin (15/6) seperti biasa ada kajian
ifthor di Masjid Salman ITB. Kali ini pemateri membuka dengan mengajukan
pertanyaan: “Berita apa yang sering muncul di tv akhir-akhir ini selain kabut
asap?” Saya spontan bingung, bukan karena pertanyaannya, tetapi dengan kata
‘selain kabut asap’. Berarti kabut asap termasuk yang sedang panas, ya? Kok
saya gak tahu? Tidak lama setelah itu saya baru sadar kalau saya gak ‘melihat’
TV kecuali di kedai-kedai nasi. Yah, you
know lah...
Oke, kembali ke pertanyaan tadi. Ada yang unik dari jawaban peserta kajian karena yang ikhwan (laki-laki) kompak menjawab “Bela negara! Wajib militer!” dan akhwat menjawab dengan polosnya “Gerakan shubuh berjamaah!”. Mungkin golongan ikhwan menjawab seperti itu agar keliatan matcho gitu, termasuk saya. Sekilas saja, Gerakan Sholat Shubuh Berjamaah ini adalah gerakan untuk membangkitkan kembali kesadaran kewajiban sholat shubuh bagi tiap muslim yang serentak diadakan di Masjid Salman ITB dan masjid-masjid kampus lain di Indonesia pada 14 Oktober 2015 bertepatan dengan 1 Muharam 1437. Di ITB sendiri grand launching gerakan ini dihadiri oleh Prof. Dr. Ir. Kadarsyah Suryadi (Rektor ITB), Prof. Hermawan K. Dipojono (Ketua Asosiasi Masjid Kampus Indonesia), dan M. Pramaditya Garry H. (Ketua Kabinet KM ITB 2015). Untuk info lebih lanjut bisa disini. Sedangkan untuk “Bela negara” atau "Wajib militer" yang kami teriaki itu saya tidak tahu. Apa itu?
![]() |
Launching Gerakan Shalat Shubuh Berjamaah sumber: Gamais ITB |
Sekali lagi kembali ke kajian ifthor, Mendengar jawaban dari peserta, pemateri malah mengatakan
jawaban kami belum tepat. Beliau lantas menyebut kami generasi muda gak update. Langsung saja beliau menjawab
pertanyaannya sediri bahwa berita yang harus kita semua tahu adalah kita
memasuki tahun baru hijriah. Ini bukan berarti tentang perayaan tahun baru
hijriah, tetapi tentang hal yang menjadi
dasar dari penanggalan tersebut: Hijrah.
Kita semua tahu bahwa hijrah yang dimaksud adalah pindahnya
Rasulullah s.a.w. dan para sahabat dari Mekah menuju Madinah.Memang makna momentum hijrah tidak hanya terbatas itu
saja. Saking bermaknanya momentum hijrah, kita tidak bisa mencari nilainya dengan
kecepatan dikali massa (salah fokus), tetapi lebih dari itu ia menjadi awal
bagi sistem penanggalan Islam. Memang makna hijrah tidak hanya terbatas dari itu saja,
tetapi pada postingan kali ini saya ingin membahas mengenai hijrah dalam artian
pindah secara fisik, pindah yang sebenarnya.
Saya dan kita semua yang sedang pergi ke “kedai kopi-kedai
kopi” di tempat yang jauh dari asal ini mungkin bisa kita sebut sedang hijrah
dalam artian yang sangat sempit, sangat tidak bisa kita samakan secara mentah-mentah
dengan hijrahnya Nabi s.a.w., baik dalam
segi pengorbanan maupun faktor-faktor lainnya. Dari alasan kenapa hijrahnya
saja sudah sangat jauh berbeda, apalagi jika diteruskan sampai ke yang lebih
detail. Bisa dibilang ini sesuai dengan “kelas”nya masing-masing, karena kita
kelasnya sangat jauh dibawah para sahabat, maka “hijrah”nya pun juga jauh tidak
berkelas dibanding mereka. Namun dengan segala kekurangan ini, izinkanlah saya
menggunakan kata “Hijrah” ini untuk mewakili perjalanan ‘agak’ jauh kita walaupun
sekali lagi sangat tidak bisa disanding dengan hijrahnya para Sahabat.
Mungkin cerita paling menarik tentang pengorbanan hijrah
kita ini adalah meninggalkan zona nyaman (istilah yang biasanya orang
kebanyakan pakai). Kita pasti meninggalkan zona nyaman kita. Bagaimanapun
lengkapnya fasilitas yang disediakan kost kita apakah wi-fi yang luarviasa
kencang, mandi air panas, tempat colok charger dimana-mana, atau apalah pasti
tidak akan lebih nyaman dari rumah, bagaimanpun. Contohnya saja begini, pertama kita misalkan
tingkat kenyamanan rumah bisa disimbolkan dengan angka di selang [0,10]. Nah,
jika kamu tinggal di kost dengan tingkat kenyamanan 4, maka pasti kamu tinggal
di rumah yang tingkat kenyamanannya lebih dari 4. Begitu juga jika kamu tinggal
di hotel berbintang lima yang dijadikan kost, maka pasti kamu tinggal di rumah
dengan bintang tujuh, delapan, atau
berapapun yang lebih tinggi. Kenapa? Logikanya ia bisa nge-kost dengan harga
dan level segitu pasti punya rumah yang lebih nyaman. Itu secara materi sih,
dan gak selamanya benar. Tapi ada satu faktor yang membuatmu ‘harus’ merasa
lebih nyaman di rumah tidak lain adalah orang-orang yang bersamamu di rumah.
Jika kalian sudah pernah menerima kiriman dari rumah,
berarti kita sama dan juga berarti kita sama tahu bagaimana bahagianya. Kalau
saya sendiri dikirimi sesuatu yang benar-benar tidak pernah saya nikmati di
Bandung dan sangat saya kangenin. Yah kamu tahu rendang kan? Bukannya lebay, tetapi bahagianya luarviasa. Sepeti kita sedang dalam arena “Hunger Game” lalu diberi bantuan dari
sponsor. Sering-sering lah.. (Kode keras)
Itu satu contoh bagaimana hanya cuma 'angin-angin'nya saja dari rumah kita sudah merasa merasa bahagia, apalagi benar-benar kembali. Bray, di tengah hiruk pikuk selama hijrah kita ini, di pencarian apakah Ima berlari atau berenang -walaupun akhirnya diketahui Ima hanyalah Sang Pelari-, atau tugas unit yang semakin menjadi, atau problem-problem sesama atau apapun lah kita pasti menerawang apa sih tujuan hijrah kita ini?
Memang
benar bahwa istirahat kita adalah di surga, tapi jika surga tersebut belum
terbayang kita bisa kembali mengingat ‘surga’ yang menanti kita di rumah.
Adakalanya kita harus merasa geer bahwa keluarga kita di rumah sedang sangat-sangat menanti kabar kita. Tanpa harus merasa geer pun hal itu memang terjadi. Nah, kenapa kita tidak manfaatkan kesempatan itu intuk Saya pribadi saat sebelum berangkat hijrah ini selalu diingatkan agar menghubungi sebisa mungkin. Awalnya saya menghubungi karena ‘peringatan’ tersebut, namun seiring berjalannya waktu ini menjadi kebutuhan. Ya, kebutuhan. Kebutuhan ketika kita lelah, kebutuhan ketika kita bingung, dan kebutuhan karena memang seharusnya kita butuh.
Tulisan kali ini semoga bisa mengungkapkan bagaimana rindunya saya dengan 'surga' tadi dan bagaimanapun hijrah ini sangat kita butuhkan juga. Jika terasa agak kacau, wajar karena saya bukan orang yang ahli dalam melankolisasi (benar gak, ya?), saya gak mengajak kita tiba-tiba
jadi baperan, hanya saja jujur saja jika kita semua merasakan hal yang sama.
Jika tidak, paksakan agar 'terasa'. Paksakan agar semangat yang kian memudar ini
kembali bersinar. Paksakan agar hijrah kita ini menjadi bermakna.
Kita tidak hidup sebagai mahasiswa puluhan tahun yang lalu. Jadi, ambil hp atau telepon atau telegram lalu hubungi mereka.
Ayo, bro!
Anak panah jika tak tinggalkan busur tak akan kena sasaran
BalasHapus