Cerita selanjutnya adalah tentang Pak Rektor ITB yang
mengadakan Open House dan mengundang
serta seluruh mahasiswa ITB untuk berkujung ke rumahnya untuk mencicipi
hidangan yang disediakan. Mungkin pembaca dari kampus lain juga mengikuti acara
“silaturahmi” yang sama bersama rektornya. Dan mungkin juga memikirkan hal yang
sama dengan tulisan berikut.
![]() |
dokumentasi pribadi |
Setelah kurang lebih dua jam bersama yang lainnya mengular sampai ke jalan,
akhirnya saya sampai di depan prasmanan. Sialnya ternyata penantian belum
berakhir karena prasmanan kosong, kami harus menunggu sampai wadah diisi kembali
dengan nasi, ayam, ataupun daging. Sambil menunggu inilah saya mendapatkan
suatu penyadaran bahwa Pak Rektor telah berhasil mengumpulkan
mahasiswa-mahasiswa ITB (pastinya tidak semua), kami datang sebagai manusia Indonesia. Selanjutnya tulisan ini ku tulis dahulu didalam pikiran
sambil senyum-seyum menunggu nasi, ayam, dan daging yang tak kujung datang.
Menarik sekali disini, melihat kami sebangsa mahasiswa ITB
berpadu di satu halaman rumah yang tidak terlalu besar. Ku perhatikan, kami
seperti meninggalkan identitas yang biasanya dibanggakan atau status yang menjadi
halangan hal-hal yang “landasannya tidak kuat” atau “manfaatnya tidak banyak”
dan alasan-alasan konstruktif, kritis, dan sedikit pragmatis lainnya.
Jika mau dipikir-pikir lagi, mereka yang hadir bukanlah mahasiswa-mahasiswa
kelaparan, kesehariannya juga makan ayam yang lebih nikmat dari ayam open house ini, biasanya juga makan
lebih puas dari pada porsi terbanyak yang mungkin diambil di rumah Pak Rektor. Tapi mengapa harus berdesak-desakan sekarang? Sepandankah waktu berjam-jam yang dihabiskan untuk mengantre dengan yang di dalam prasmanan?
Ku lihat lagi sekeliling. Ku temukan orang yang dikenal
bijak dan wibawa karena menjadi menteri di kabinet atau kepala unit. Ku juga
temukan kepala-kepala yang dikenal kritis dan memandang segala sesuatu harus
dengan data. Ku juga temukan teman yang biasanya lebih memilih diam di tempat
dan menanyakan “ngapain ikutan?”. Tak lupa juga mereka-mereka yang sedang
mengalami ospek jurusan dan membersamai peng-ospek-nya. Oh ya, begitu juga sang peneriak
“bisa ngantre gak sih, Mas?” yang ikut dalam barisan dan ‘terciduk’ sesekali
menerobos. Tentu ada tawa dan cerita disini.
Ketika jaket kebanggaan ataupun kaos kehormatan ditinggalkan,
digantikan dengan gamis, koko, kemeja warna-warni atau apanpun pakaian yang dianggap terbaik untuk
melekat di hari agung ini. Tak perlu lagi bertanya dia dari himpunan apa, golongan mana, dan lulus tahun berapa. Apalagi judul TA-nya.
Aah, pemandangan yang luarbiasa.
Tulisan ini hanyalah ungkapan rasa bahagia seorang mahasiswa
biasa terhadap satu fenomena berkumpulnya elemen-elemen mahasiswa kampusnya
tanpa membawa arogansi dan kepentingan seperti biasanya. Mungkin kita memang
harus sejenak meninggalkan perspektif umum kita tersebut untuk kembali menjadi manusia Indonesia. Yang ramah, penuh cinta dan tak
akan menyia-nyiakan undangan makan. Tapi tentu saja ini bukan cuma tentang makan dan makanan, tapi
juga tentang membersamai manusia
Indonesia lainnya.
Terimakasih, Pak Rektor! Atas undangannya dan memberi
kami waktu sejenak menjadi manusia Indonesia (lagi).
Tapss
BalasHapusEaa.
Hapus