Idul Adha
identik dengan pengorbanan. Mungkin hikmah dari dekatnya peringatan kemerdekaan
dan Idul Adha adalah saat ini anak-anak Indonesia perlu merefleksikan diri
tentang pengorbanan yang telah dilakukannya. Banyak problematika negeri yang
memerlukan pengorbanan. Pada banyak hal, masalah ini berbentuk konflik antar
dua pihak. Untuk menyelesaikan tiap konflik, terkadang dibutuhkan pihak ketiga,
pihak ketiga yang berkorban untuk kedamaian.
![]() |
sumber: media.licdn.com |
Ada satu
cerita pendek anak-anak menarik yang mengisahkan seorang bapak tua yang kaya
dan memiliki tiga orang anak. Saat ia meninggal, ia berwasiat untuk membagi seluruh
hartanya sesuai dengan aturan berikut; anak pertama mendapatkan setengah bagian
dari warisan, anak kedua mendapatkan sepertiga dari warisan, dan anak terakhir
mendapatkan sepersembilan dari warisan.
Mengenai
pembagian, ketiga anak tidak merasa untuk berkompromi karena itu wasiat dari
ayahnya dan pastilah adil. Namun yang menjadi masalah adalah ayahnya hanya
memiliki 17 unta untuk diwariskan. Karena 17 adalah bilangan prima, otomatis 17
unta tidak dapat dibagi menjadi dua, menjadi tiga, dan menjadi sembilan.
Berhari-hari ketiga anak tersebut belum menemukan jawaban yang dapat diterima
oleh semua.
Setelah
beberapa hari, mereka bertemu dengan seorang nenek tua yang dikenal bijak oleh
warga desa. Nenek ini meminta mereka bertiga menemuinya serta membawa 17 unta
tersebut. Selanjutnya setelah memahami permasalahan, ia kemudian menghadiahkan 1
unta miliknya sehingga total terdapat 18 unta yang akan dibagikan sesuai aturan
yang diberikan ayahnya.
Karena 18
bukanlah angka prima, maka dengan mudah anak tertua membagikan sesuai aturan
ayahnya. Anak tertua mendapatkan setengah dari 18 yakni 9 unta, anak kedua
mendapatkan sepertiga yakni 6 unta, dan anak terakhir mendapatkan sepersembilan
yakni 2 unta. Total jumlah yang telah dibagikan ternyata 17, menyisakan satu
unta. Kemudian anak tertua dengan penuh kebahagiaan menyerahkan kembali satu
unta tersebut ke nenek yang telah mengorbankan 1 unta miliknya demi solusi
permasalahan mereka.
Cerita
tersebut sangat sederhana, sangat-sangat sederhana. Tidak sekompleks masalah
besar UKT
yang harus dibayar oleh mahasiswa semester 9 di ITB. Tidak juga
semeraut problematika negeri yang kita cintai ini. Namun menjadi nenek tua dengan
memberikan unta ke-18 adalah entitas yang ditunggu-tunggu oleh kampus dan oleh
bangsa ini.
Mendeklarasikan
diri menjadi salah satu pihak yang sedang konflik jauh lebih mudah untuk kita
lakukan. Tinggal pertimbangkan keunggulan pihak kita lalu serang dengan kelemahan
pihak lawan. Pembelajaran ini mungkin bisa kita dapatkan pada buku legendaris Art of War-nya Sun Tzu. Hanya tentang
kalah dan menang. Tapi menjadi pihak ketiga butuh pengorbanan lebih, bisa jadi
kita malah membuat diri kita adalah musuh bagi kedua pihak, atau sebaliknya
menjadi pahlawan di tengah konflik.
![]() |
sumber: beyondintractability.org
|
Dalam
menjadi pihak ketiga, kita harus tahu kondisi yang sedang berlangsung dan kita
dapat mengambil peran apa dikondisi terebut. Kesadaran akan peran ini akan
mengurangi usaha yang sia-sia dan tidak berdampak banyak terhadap suatu
konflik. Untuk itu William Ury, co-founder
dari Harvard’s Program on Negotiation dan mediator dalam berbagai perang etnis,
menklasikfikasikan 10 peran yang
dapat kita ambil sebagai “pihak ketiga” dalam suatu konflik (Ury W. , 2000). 10 peran ini dibagi kedalam 3 strategi
besar sesuai dengan kondisi dari konflik tersebut.
- Prevent atau mencegah (terdiri dari provider, teacher, dan bridge-builder)
- Resolve atau menyelesaikan (terdiri dari mediator, arbiter, equalizer, dan healer)
- Contain atau menahan (terdiri dari witness, referee, dan peacekeeper)
Berikut akan
dijelaskan secara ringkas 10 peran tersebut:
1.
The Provider. Biasanya konflik disebabkan karena tidak terpenuhinya kebutuhan di
salah satu pihak. Oleh karena itu provider
hadir untuk menyelesaikan masalah dengan memberikan kebutuhan tersebut, baik
itu berupa materi seperti makanan, ataupun non-materi seperti rasa aman,
pengetahuan, dan cinta.
2.
The Teacher.
Konflik juga bisa hadir karena kedua pihak tidak mengetahui cara lain selain
dari perseteruan. Peran ini haruslah mengajari kedua pihak bahwa ada cara lain
untuk menyelesaikan permasalahan.
3.
The Bridge-builder. Memiliki suatu hubungan yang baik antar pihak dapat
mencegah terjadinya konflik. Dibutuhkan suatu penghubung untuk menjalin hubungan
yang baik tersebut. Penghubung ini dapat terjadi secara natural atau dapat
dibangun oleh seseorang.
Tiga peran
diatas diperlukan dalam proses pencegahan konflik, apabila konflik telah
terjadi selanjutnya diperlukan peran ke-4 sampai peran ke-7 untuk menyelesaikan
konflik tersebut.
4.
The Mediator. Saat terjadinya konflik, perlu dibicarakan dengan
duduk bersama. Mediator adalah orang yang mengambil peran agar kedua pihak
setuju untuk duduk bersama dan memfasilitasinya. Selanjutnya mediator juga
membantu mencari solusi atas permasalahan.
5.
The Arbiter. Apabila mediasi gagal karena suatu sebab yang tak terelakkan. Maka perlu
seseorang yang dapat memutuskan mana yang benar dan mana yang salah, bukan lagi
mencari solusi bersama. Contoh sederhananya adalah hakim dalam sidang, atau guru
yang memutuskan perselisihan dua siswa yang bertengkar.
6.
The Equalizer. Seringkali juga konflik hadir diantara dua pihak yang jomplang, salah
satu pihak memiliki kekuatan dan kekuasaan yang jauh lebih besar daripada pihak
kedua. Jika kita berharap hanya pada peran Mediator
dan Arbiter saja, maka pihak yang
kuatlah cenderung untuk menang tanpa memberikan kesempatan pada pihak lemah. Equalizer harus menggunakan pengaruhnya
agar penyelesain konflik berjalan seimbang.
7.
The Healer.
Konflik biasanya tidak benar-benar selesai setelah solusi didapatkan. Masih ada
luka-luka yang tersisa pada salah satu pihak atau kedua pihak. Apabila luka ini
tidak segera disembuhkan akan membusuk dan menjadi konflik di kemudian hari. The Healer adalah peran yang bertugas
untuk menutupi luka tersebut, menjadikan kedua pihak dalam kondisi damai
seutuhnya melalui treatment tertentu.
Strategi
ketiga pada peran ke-8 sampai peran ke-10 yang bertugas untuk menahan suatu
konflik agar tidak menghasilkan kerugian yang lebih besar.
8.
The Witness. Apabila suatu konflik dibiarkan saja, maka dapat terjadi eskalasi hingga
terjadi kekerasan. Peran sebagai The
Witness adalah mengamati apabila terdeteksi ancaman dan mencoba
menyelesaikan atau melaporkan agar tidak terjadi eskalasi konflik.
9.
The Referee. Terdapat juga beberapa perselisihan yang dapat memberi manfaat sampai
suatu batas tertentu. The Referee adalah
peran yang menjaga agar kedua belah pihak tetap berada dibawah batas tersebut
agar tidak terjadi kerugian yang besar.
10. The Peacekeeper. Saat batas-batas tersebut terlampaui
terkadang kita perlu tindakan tegas yang dapat menghentik konflik seketika.
Seperti seorang ibu yang memisahkan dua anaknya yang sedang berkelahi. Sebisa
mungkin The Peacekeeper tidak
melakukan tindakan yang menyebabkan kerugian besar walaupun tindakan yang
diperlukan harus tegas.
Sepuluh
peran ini idealnya harus ada ditengah masyarakat kita. Menentukan peran apa
yang sebaiknya kita ambil haruslah diikuti dengan kesadar kondisi konflik, apakah
masih dalam tahap pencegahan atau konfik telah terjadi dan perlu untuk
diselesaikan. Apakah jalur mediasi masih bisa diambil sebelum melakukan jalur
hukum. Selain itu, kita juga perlu memahami kekuatan dan pengaruh yang kita
miliki. Misalnya lembaga The Peacekeeper
tidak bisa diperankan oleh lembaga yang lebih lemah daripada pihak yang
berkonflik. Begitu juga dengan The
Teacher haruslah yang mengerti dan memiliki pemahaman lebih terhadap
pencarian solusi serta dapat memberikan pengajaran kepada pihak lainnya.
Seperti yang
telah saya sampaian di awal, 10 peran ini sama-sama memiliki potensi untuk
menjadi pihak yang terancam walaupun punya motivasi yang baik. Terdapat banyak
pengorbanan yang harus ditempuh untuk menjadi pihak ketiga. Memahami peran yang
tepat untuk menjadi pihak ketiga dapat mengurangi pengorbanan yang sia-sia dan dampak yang merugikan banyak pihak.
Apabila
konflik telah selesai, banyak kemungkinan yang bisa terjadi pada dirinya, mulai
dari dikucilkan sampai menjadi pahlawan. Oleh karena itu dalam banyak kasus, kecendrungan
hasrat kita untuk memperjuangkan suatu nilai atau suatu kebutuhan pada salah
satu pihak sulit untuk dibendung, sehingga ikut serta menjadi salah satu pihak
yang berkonflik adalah suatu pilihan mutlak.
Tapi jika
semua merasa kepentingannya-lah yang paling penting, siapakah yang rela jadi
nenek tua yang memberikan unta ke-18 untuk Indonesia?
References
The Eighteenth
Camel. (n.d.). Retrieved from Metaphor and More:
http://www.mjglass.ca/metaphor/eighteenthcamel.htm
Ury, W. (2000). The
Third SIte: Why We Fight and How We Can Stop. New York: Penguin Books.
Ury, W. (2003, December).
Third Siders. Retrieved from Beyond Intractability:
<http://www.beyondintractability.org/essay/thirdsiders>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar