Minggu, 27 Agustus 2017

Unta ke-18 untuk Indonesia

Indonesia baru saja merayakan kemerdekaannya yang ke-72. Suatu bangsa yang sudah cukup tua memang. Cukup tua dengan berbagai problematika yang sempat atau sedang dihadapi. Pada tahun ini, kurang dari sebulan setelah perayaan kemerdekaan, bangsa Indonesia bersua dengan hari besar lainnya, yakni Hari Raya Idul Adha. Hari besar bagi umat muslim ini tidak jarang memberi dampak yang signifikan bagi bangsa Indonesia, pada ekonominya dan pada hal-hal lainnya. Oleh karena itu saya rasa tidak salah menyebut hari raya ini juga merupakan hari besar bagi bangsa Indonesia.

Idul Adha identik dengan pengorbanan. Mungkin hikmah dari dekatnya peringatan kemerdekaan dan Idul Adha adalah saat ini anak-anak Indonesia perlu merefleksikan diri tentang pengorbanan yang telah dilakukannya. Banyak problematika negeri yang memerlukan pengorbanan. Pada banyak hal, masalah ini berbentuk konflik antar dua pihak. Untuk menyelesaikan tiap konflik, terkadang dibutuhkan pihak ketiga, pihak ketiga yang berkorban untuk kedamaian.

sumber: media.licdn.com
Ada satu cerita pendek anak-anak menarik yang mengisahkan seorang bapak tua yang kaya dan memiliki tiga orang anak. Saat ia meninggal, ia berwasiat untuk membagi seluruh hartanya sesuai dengan aturan berikut; anak pertama mendapatkan setengah bagian dari warisan, anak kedua mendapatkan sepertiga dari warisan, dan anak terakhir mendapatkan sepersembilan dari warisan.

Mengenai pembagian, ketiga anak tidak merasa untuk berkompromi karena itu wasiat dari ayahnya dan pastilah adil. Namun yang menjadi masalah adalah ayahnya hanya memiliki 17 unta untuk diwariskan. Karena 17 adalah bilangan prima, otomatis 17 unta tidak dapat dibagi menjadi dua, menjadi tiga, dan menjadi sembilan. Berhari-hari ketiga anak tersebut belum menemukan jawaban yang dapat diterima oleh semua.

Minggu, 20 Agustus 2017

Pengikut Macam Apakah Kita?


Menjelang penutupan OSKM ITB 2017 terdapat agenda bertajuk Orasi Pelangi. Seperti namanya, agenda ini berisi rangkaian orasi yang semacam pidato singkat oleh ketua-ketua himpunan mahasiswa jurusan di ITB. Mungkin karena menggunakan jahim (jaket himpunan) yang memiliki warna berbeda-beda inilah maka panitia OSKM menyebut agenda ini Orasi Pelangi. Konten yang disampaikan dalam orasinya cukup menarik, karena sebagian Kahim (Ketua Himpunan) menggunakan momen ini untuk menyampaikan identitas dari jurusan atau himpunannya, tak kurang prestasi dan kebanggaan lainnya. Selain itu juga di dalam teriakannya berkali-kali disebut kata “masyarakat”, “turun ke jalan”, “inovasi”, “teknologi”, “kaderisasi” dan kata-kata yang lagi trend di kalangan mahasiswa terutama di ITB.

Sumber : twitter.com/oskmitb2017

Yang ingin saya soroti disini adalah penunjukan Kahim untuk menyampaikan orasi. Kahim sebagai pemimpin dalam oganisasi sah yang menjadi wadah bagi mahasiswa-mahasiswa jurusan untuk berkarya dan mengembangkan diri dipilih tentu dengan harapan dapat menjadi simbol bagi mahasiswa jurusan masing-masing. Sebelum menggali lagi lebih jauh, kita tetap cenderung menyatakan pemimpin adalah simbol bagi organisasi.

Oleh karena itu, wajarlah kiranya “menjadi pemimpin” lebih banyak dikaji dibandingkan “menjadi pengikut”. Pemimpin juga yang paling sering diceritakan dalam berbagai kisah di novel, hikayat,ataupun dalam kitab suci. Namun, dalam kehidupan kita sehari-hari apabila terjadi suatu yang tidak beres atau tidak sesuai harapan dalam suatu organisasi, maka pemimpin tadi juga-lah yang menjadi sorotan dan harus dipertanyakan, baik perannya yang masih sebagai simbol maupun sebagai entitas tersendiri.

Namun bagaimana dengan pengikut?

Saya mendapatkan ulasan menarik tentang pengikut dari Gubernur Nusa Tenggara Barat yang masih menjabat saat ini, Tuan Guru Dr Zainul Majdi atau yang akrab disapa TGB (Tuan Guru Bajang). Ulasan ini termuat dalam media Republika tanggal 5 Februari 2013. Dituliskan bahwa beliau mendapatkan artikel berjudul “In Praise of Followers” (1998) oleh Robert E Kelley, seorang pakar administrasi perusahaan dari Carnegie-Mellon University. Artikel ini menegaskan tidak hanya peran seorang pemimpin, tetapi peran mereka yang dipimpin (followers) juga tak kalah peting.