Sabtu, 16 Desember 2017

Groupthink dan Budaya Organisasi yang Dipertanyakan

Saya belajar bahwa dalam organisasi terdapat dua macam posisi yang perlu disadari, posisi sebagai pemegang idealisme dan posisi yang langsung menghadapi realita. Dalam menyusun idealisme atau target-target yang ingin dicapai biasanya kita menggunakan semacam tim pra-eksekusi, seperti misalnya formatur, ad-hoc, dan istilah lain yang merujuk ke fungsi yang sama yaitu merancang konsep organisasi selama satu periode ke depan. Tim tersebut bisa sama dengan eksekutor nantinya, bisa juga dari yang berbeda karena dianggap memahami kebutuhan-kebutuhan organisasi tersebut. Mainstream di lingkungan saya menggunakan metode tersebut.

Adalah suatu hal yang menyenangkan apabila proses mengkonsep ini berjalan lancar dan dalam waktu yang relatif singkat. Lancar disini dalam artian bahwa dalam kelompok kecil ini sudah benar-benar memiliki visi yang sama sehingga kemungkinan perbedaan pendapat akan kecil sekali. Tentunya hal ini menyebabkan proses berjalan lebih cepat daripada proses yang disusupi oleh opini berbeda.

Dengan absennya opini berbeda maka kecendrungan untuk mempertahankan budaya akan semakin besar. Di dalam buku Originals (Adam Grant), disebutkan bahwa kasus ini diberi nama groupthink dan merupakan musuh dari orisinalitas. Secara sadar atau tidak, kita akan selalu ditekan terhadap cara pikir yang menguasai organisasi sehingga keberagaman pemikiran akan terhilangkan. Sekalipun pemikiran itu muncul, namun karena adanya pendapat yang mendominasi secara luarbiasa maka pendapat yang berbedaini akhirnya terkubur.

sumber: clarkcounty.info

Mulai dari Siapa Anggotanya

Kehadiran groupthink tentunya bukan saja hadir pada saat pengkonsepan, tetapi juga mudah hadir pada saat eksekusi. Setiap dibutuhkan pendapat untuk memutuskan suatu perihal, potensi munculnya groupthink selalu mengikuti sehingga lebih sering menghambat hadirnya inovasi. Oleh karena itu kita perlu melihat bagaimana kedepannya organisasi ini diharapkan melalui anggota yang bagaimana yang direkrut.

Rabu, 13 Desember 2017

'The Last Jedi': Harapan bagi Pengikut Dark Side

"A long time ago in a galaxy far, far away . . ."

Dongeng pada umumnya selalu menceritakan tentang pertarungan dua sisi, gelap dan terang, baik dan jahat, benar dan salah. Untuk penonton dengan sudut pandang biasa akan selalu menjadi korban yang tidak dapat memilih keberpihakan di antara dua sisi tersebut, contohnya kita harus selalu berpihak pada  Cinderella karena judul dari dongeng tersebut adalah tokoh yang kehilangan sepatu ini. Bagi yang mencoba alternatif lain, yakni berpihak pada penyihir, maka akan dianggap aneh dan perlu dipertanyakan akal sehatnya. Ini sungguh kejam.

Untuk versi cerita yang lebih tinggi (menurut saya) kita akan menemukan bukan lagi tentang pertarungan dua sisi, tapi tentang pergolakan batin sang tokoh utama beserta perkembangan interaksi ia terhadap tokoh-tokoh lain. Sehingga jika diresapi, kita tidak menemukan tokoh yang benar-benar antagonis. Model cerita seperti ini seringkali kita temukan pada kisah-kisah yang diangkat Pixar ke layar lebar. Walaupun model ini menarik, namun cerita perperangan dua sisi ini selalu memberikan kesan yang lebih dan akan mendapatkan pengikut yang lebih masif. Tak heran franchise-franchise dongeng modern lebih memilih model cerita seperti ini. Salah satunya adalah Star Wars yang baru saja merilis episode kedelepannya untuk alur cerita utama, The Last Jedi.

www.comicbookmovie.com
Star Wars adalah fiksi yang sangat konsisten menjaga konflik yang sama di tiap episodenya. Dengan sedikit kocekan, entah kenapa tetap memberikan hype yang sama bagi para penggemarnya. Resistance bersama Jedi Order dalam banyak episode menjadi tokoh protagonis yang berusaha menghentikan kedigdayaan The First Order dan The Sith. Semua dikemas berkali-kali dari trilogi utama 4,5, dan 6 dilanjutkan tilogi prekuel 1, 2, dan 3, dan sekarang sedang berlangsung trilogi 7, 8, dan 9.

Star Wars bagi saya bisa lebih unggul karena konsistennya tadi. Hanya saja, apakah tokoh protagonis bisa selalu kita andalkan?

Minggu, 26 November 2017

Tikus Mati di Gang Pelesiran (sebuah fiksi)

Kami sekarang berlima, pulang dari kampus sebagai peserta uji dengar, mencoba berkemahasiswaan. Sambil jalan, sambil berkomentar tentang jalannya uji dengar tadi serta tentang calon-calon presiden kampus. Pukul satu malam serasa pukul empat sore, bedanya tak ada orang dan tak ada gerobak jajanan.

Sampai ditengah-tengah Jalan Pelesiran, hampir menuju warkop yang jadi tempat perhentian di malam ini, kami dihentikan oleh jasad dari tikus, tikus yang telah mati, sepertinya. Kami terpana, lalu saling bertatap mata, lalu melanjutkan langkah menuju warkop.

Tak seperti biasanya, kami tak langsung berkata setengah teriak memesan indomi goreng dobel pakai telor. Masih terdiam, seperti setelah mendapatkan nilai ujian tengah semester.

"Harus ada yang memulai pembicaraan", ujarku di dalam batin. Tapi tak mungkin, aku hanyalah mahasiswa biasa. Setidaknya dibandingkan dengan empat temanku yang lain. Jadi, kuputuskan untuk diam saja.

sumber: http://tomandjerry.wikia.com

"Tikus mati itu membuat nafsu makanku tidak ada, silahkan bagi yang ingin memesan mie atau bubur untuk duluan saja." Kata temanku, si Aleks. Entah dibuat-buat atau memang ia tidak punya keinginan makan, kurasa tikus yang mati tadi hanya jadi alasannya saja.

"Bagaimana pun, tikus mati tadi adalah bukti bahwa mahasiswa sudah jauh dari masyarakat. Lingkungan yang tidaklah begitu jauh dari gerbang kampus, tapi begitu menjijikkan, tidak menggambarkan intelektual mahasiswanya." Badu memulai pembicaraan dengan nada sedikit ditekan, persis seperti ketika ia berkampanye.

Sebenarnya tikus itu tidaklah begitu jauh, aku yang duduk di paling pinggir masih bisa melihatnya. Tapi tidak seperti Aleks, tikus mati tikus hidup tidak dapat mempengaruhi selera makan. Sambil telinga mendengarkan Badu berkoar panjang lebar, aku perhatikan tikus yang terkapar. "Ada sesuatu yang kurang." masih ujar ku di dalam batin, karena aku mahasiswa biasa.

"Kau tidak bisa menyalahkan mahasiswa kampus kita terus, Du!" dengan nada sedikit membentak oleh Dian, perempuan aktifis pusat, memotong pidato Badu. "Memang langkah kita masih kecil, memang jejaknya belum membekas. Tapi lihatlah potensinya, lihatlah bahwa mahasiswa masih peduli!"

Sabtu, 04 November 2017

Connecting the Dots

Ir. Syamril saat memberikan materi
Pada acara Mabit Ashabul Qur'an dan Gerakan Subuh Jamaah Nasional kali ini menghadirkan Ir. Syamril, M.Pd sebagai pemateri untuk agenda malamnya. Beliau merupakan Koordinator Yayasan Kalla dan Kepala SDM Kalla Group.

Menurut pendapat beberapa teman saya, materi dengan tema "Menghidupkan Kembali Api Kepahlawanan Pemuda" ini cukup memberi banyak insight baru. Tapi bagi saya yang paling menarik adalah pada pernyataannya tentang visi. Visi adalah hal yang cukup krusial dalam upaya menghidupkan "api kepahlawanan" tersebut, jadi pembahasan visi adalah yang paling menarik.

Di salah satu bagiannya, beliau menganalogikan bagaimana seorang mahasiswa yang belajar tanpa tahu tujuan kedepannya seperti seorang atlet olimpiade yang berlatih tanpa tahu cabang apa yang akan ia ikuti. Ketika beliau menyampaikan sembari menggunakan slide presentasi, pikiran saya terbang mengingat pidato dari mantan CEO Apple Inc untuk wisudawan Stanford University pada tahun 2005.

Dalam pidato tersebut, menceritakan tiga cerita dalam hidupnya; tentang 'Connecting the Dots', 'Love and Loss', dan 'Death'. Tiga kisah ini sangat inspiratif yang pembaca dapat saksikan di berbagai media. Hanya saja pada post kali ini saya akan mengambil sedikit bagian dari 'Connecting the Dots'.

Jumat, 01 September 2017

Undangan Pak Rektor dan Menjadi Manusia Indonesia

Hari ini, 1 September 2017, adalah hari yang bahagia. Bukan saja karena merupakan suka cita Idul Adha, tetapi juga momen-momen yang mengiringinya. Di awali dengan sholat ‘Ied dan dilanjutkan khutbah yang menarik. Terhitung 32 kali disebut kata “cinta”, tentang mencintai, yang mencintai, dan yang dicintai, tentang Ibrahim dan Tuhannya. Saya rasa ini adalah salah satu khutbah yang indah, ketika biasaya khutbah hari raya dijadikan momen untuk refleksi terhadap kondisi negeri, pemerintahan, dan pelik masalah-masalahnya, menyebabkan suasana menjadi getir dan perlu banyak pikir, khutbah kali ini malah cukup membawa kita ke kejadian indah di masa silam dengan Ibrahim, Sang Kekasih Allah, sebagai aktor utama beserta keteladanannya. Khutbah ideal yang melengkapi indahnya hari ini.

Cerita selanjutnya adalah tentang Pak Rektor ITB yang mengadakan Open House dan mengundang serta seluruh mahasiswa ITB untuk berkujung ke rumahnya untuk mencicipi hidangan yang disediakan. Mungkin pembaca dari kampus lain juga mengikuti acara “silaturahmi” yang sama bersama rektornya. Dan mungkin juga memikirkan hal yang sama dengan tulisan berikut.

dokumentasi pribadi
Setelah kurang lebih dua jam bersama yang lainnya mengular sampai ke jalan, akhirnya saya sampai di depan prasmanan. Sialnya ternyata penantian belum berakhir karena prasmanan kosong, kami harus menunggu sampai wadah diisi kembali dengan nasi, ayam, ataupun daging. Sambil menunggu inilah saya mendapatkan suatu penyadaran bahwa Pak Rektor telah berhasil mengumpulkan mahasiswa-mahasiswa ITB (pastinya tidak semua), kami datang sebagai manusia Indonesia. Selanjutnya tulisan ini ku tulis dahulu didalam pikiran sambil senyum-seyum menunggu nasi, ayam, dan daging yang tak kujung datang.

Minggu, 27 Agustus 2017

Unta ke-18 untuk Indonesia

Indonesia baru saja merayakan kemerdekaannya yang ke-72. Suatu bangsa yang sudah cukup tua memang. Cukup tua dengan berbagai problematika yang sempat atau sedang dihadapi. Pada tahun ini, kurang dari sebulan setelah perayaan kemerdekaan, bangsa Indonesia bersua dengan hari besar lainnya, yakni Hari Raya Idul Adha. Hari besar bagi umat muslim ini tidak jarang memberi dampak yang signifikan bagi bangsa Indonesia, pada ekonominya dan pada hal-hal lainnya. Oleh karena itu saya rasa tidak salah menyebut hari raya ini juga merupakan hari besar bagi bangsa Indonesia.

Idul Adha identik dengan pengorbanan. Mungkin hikmah dari dekatnya peringatan kemerdekaan dan Idul Adha adalah saat ini anak-anak Indonesia perlu merefleksikan diri tentang pengorbanan yang telah dilakukannya. Banyak problematika negeri yang memerlukan pengorbanan. Pada banyak hal, masalah ini berbentuk konflik antar dua pihak. Untuk menyelesaikan tiap konflik, terkadang dibutuhkan pihak ketiga, pihak ketiga yang berkorban untuk kedamaian.

sumber: media.licdn.com
Ada satu cerita pendek anak-anak menarik yang mengisahkan seorang bapak tua yang kaya dan memiliki tiga orang anak. Saat ia meninggal, ia berwasiat untuk membagi seluruh hartanya sesuai dengan aturan berikut; anak pertama mendapatkan setengah bagian dari warisan, anak kedua mendapatkan sepertiga dari warisan, dan anak terakhir mendapatkan sepersembilan dari warisan.

Mengenai pembagian, ketiga anak tidak merasa untuk berkompromi karena itu wasiat dari ayahnya dan pastilah adil. Namun yang menjadi masalah adalah ayahnya hanya memiliki 17 unta untuk diwariskan. Karena 17 adalah bilangan prima, otomatis 17 unta tidak dapat dibagi menjadi dua, menjadi tiga, dan menjadi sembilan. Berhari-hari ketiga anak tersebut belum menemukan jawaban yang dapat diterima oleh semua.

Minggu, 20 Agustus 2017

Pengikut Macam Apakah Kita?


Menjelang penutupan OSKM ITB 2017 terdapat agenda bertajuk Orasi Pelangi. Seperti namanya, agenda ini berisi rangkaian orasi yang semacam pidato singkat oleh ketua-ketua himpunan mahasiswa jurusan di ITB. Mungkin karena menggunakan jahim (jaket himpunan) yang memiliki warna berbeda-beda inilah maka panitia OSKM menyebut agenda ini Orasi Pelangi. Konten yang disampaikan dalam orasinya cukup menarik, karena sebagian Kahim (Ketua Himpunan) menggunakan momen ini untuk menyampaikan identitas dari jurusan atau himpunannya, tak kurang prestasi dan kebanggaan lainnya. Selain itu juga di dalam teriakannya berkali-kali disebut kata “masyarakat”, “turun ke jalan”, “inovasi”, “teknologi”, “kaderisasi” dan kata-kata yang lagi trend di kalangan mahasiswa terutama di ITB.

Sumber : twitter.com/oskmitb2017

Yang ingin saya soroti disini adalah penunjukan Kahim untuk menyampaikan orasi. Kahim sebagai pemimpin dalam oganisasi sah yang menjadi wadah bagi mahasiswa-mahasiswa jurusan untuk berkarya dan mengembangkan diri dipilih tentu dengan harapan dapat menjadi simbol bagi mahasiswa jurusan masing-masing. Sebelum menggali lagi lebih jauh, kita tetap cenderung menyatakan pemimpin adalah simbol bagi organisasi.

Oleh karena itu, wajarlah kiranya “menjadi pemimpin” lebih banyak dikaji dibandingkan “menjadi pengikut”. Pemimpin juga yang paling sering diceritakan dalam berbagai kisah di novel, hikayat,ataupun dalam kitab suci. Namun, dalam kehidupan kita sehari-hari apabila terjadi suatu yang tidak beres atau tidak sesuai harapan dalam suatu organisasi, maka pemimpin tadi juga-lah yang menjadi sorotan dan harus dipertanyakan, baik perannya yang masih sebagai simbol maupun sebagai entitas tersendiri.

Namun bagaimana dengan pengikut?

Saya mendapatkan ulasan menarik tentang pengikut dari Gubernur Nusa Tenggara Barat yang masih menjabat saat ini, Tuan Guru Dr Zainul Majdi atau yang akrab disapa TGB (Tuan Guru Bajang). Ulasan ini termuat dalam media Republika tanggal 5 Februari 2013. Dituliskan bahwa beliau mendapatkan artikel berjudul “In Praise of Followers” (1998) oleh Robert E Kelley, seorang pakar administrasi perusahaan dari Carnegie-Mellon University. Artikel ini menegaskan tidak hanya peran seorang pemimpin, tetapi peran mereka yang dipimpin (followers) juga tak kalah peting.

Minggu, 16 April 2017

Kupas ANAK SEMUA BANGSA

"Annelies Mellema," ia mengulurkan tangan padaku, kemudian pada Suurhof.Suara yang keluar dari bibirnya begitu mengesani, tak mungkin dapat kulupakan seumur hidup.- Pramoedya Ananta Toer dalam 'Bumi Manusia' 
Buku bersampul kehijau-hijauan itu akhirnya menjadi perhatianku setelah mendekam lama di rak buku kamar kost. Buku itu sebenarnya telah kubeli kira-kira dua tahun yang lalu sebagai syarat untuk bergabung dengan suatu unit kegiatan mahasiswa di ITB (yang pada akhirnya tidak jadi kulanjutkan). Hampir saja terlupakan, namun karena tak ada bahan lain yang bisa kubaca dan tersedia di kamar maka Bumi Manusia-lah yang menjadi santapan. Kira-kira tak sampai sebulan roman ini khatam plus tiap paragraf yang menarik selalu ku jadikan bahan untuk update di linimasa LINE.

Setelah kubaca-baca lagi ternyata paragraf yang menarik dan sempat menjadi penhias linimasa semuanya mengenai Annelies, tokoh fiktif dalam roman Tetralogi Buru, yang mengalami masa-masa indah dan sulit bersama Minke dan Nyai Ontosoroh. Tak bisa dikatakan sederhana jalan cerita dari roman pertama ini, dari perkenalan sang tokoh utama dan tokoh lainnya, lalu bagaimana bertemunya tokoh-tokoh tersebut, sampai muncul konflik yang silih berganti. Semuanya tersusun rapih, indah.

Jumat, 24 Maret 2017

KUPAS KOSMOS #1: Hikayat Heike

(Postingan pertama yang mengupas buku Kosmos karya Carl Sagan)

Pernahkah merasa eksklusif? Ketika seseorang menganggap hanya dirinyalah yang diberikan ucapan selamat pagi setelah sesaat membuka mata dan diberikan doa indah ketika hendak berpetualang di alam mimpi (tak peduli akhirnya bermimpi atau tidak) agar sang mimpi tak kalah indah dari doa yang terucap. Tentunya. Atau yang paling sederhana jika kita menjadi suatu makanan yang dianggap berbeda dengan yang lainnya karena pada kombinasinya terdapat lebihan telor atau keju, sedangkan yang lain tidak diberikan lebihan tersebut bahkan tidak dimasukkan di antara bahan-bahan lainnya, terlihat lebih rendah stratanya.

Status eksklusif yang dinobatkan secara "sepihak" ini beberapa kali menghambat kita berangkat dari bumi yang kecil ini menuju sesuatu yang jauh lebih tua, jauh lebih kokoh, dan jauh lebih luas sehingga kemungkinan bahwa kita, manusia, benar-benar The Only One-nya Kosmos dapat berkurang secara perlahan-lahan. Secara perlahan-lahan kita menyadari bahwa ucapan selamat pagi yang didengungkan kepada kita merupakan ucapan yang kesekian kalinya didengungkan kepada "orang-orang" selain kita, kitalah orang yang mendapatkan urutan kesekian. Sedangkan doa indah di malam hari bisa jadi yang pertama kali dipanjatkan, hanya saja sebagai uji coba untuk mereka yang lebih pantas mendapatkan yang lebih indah. Semua orang, atau setidaknya sebagian, akan memaklumkan bahwa ini hal yang menyakitkan. Oleh karena itu pada beberapa abad sebelum ini, entitas manusia lebih memilih alternatif lain; meninggalkan Kosmos dan meninggalkan pikiran yang sedang berkelana di Kosmos (padahal saat itu manusia telah menyadari penuh posisinya).

Buku yang secara simultan menjadi genre sastra dan genre sains dalam waktu bersamaan ketika membacanya ini memberikan pemahaman bagaimana menjadi warga Kosmos yang baik. Bukan hanya mengembalikan kesadaran bahwa manusia bisa jadi bukanlah entitas yang satu-satunya di Alam Semesta yang selalu mengembang (sapai saat ini), tetapi juga mengembalikan kepercayaan diri kita sebagai bagian dari sesuatu yang besar yang diberikan tugas untuk memahami diri sendiri dan memahami bagian dirinya yang lain, yang lebih besar. Dua hal yang bertentangan, bukan?

Awalnya saya mencoba mengira-ngira isi dari buku ini akan langsung terbang ke galaksi nun jauh disana, atau langsung membahas bagaimana Big Bang kemungkinan terjadi, atau minimal membahas seberapa tua Alam Semeta ini. Pertanyaan-pertanyaan dasar di atas akan langsung dipercikkan di bab pertama, sebuah pembukaan yang elegan untuk pembahasan yang luas, menuju luasnya Kosmos. Namun tak beberapa saat kita langsung ditarik kembali menuju permukaan. Seperti sebuah trailer yang menampakkan bagaimana luas dan gagahnya galaksi terdiri dari miliaran bintang, kemudian trailer singkat tersebut berakhir dan menyisakan kita yang masih duduk di dalam bandara (kebetulan saya membuka buku ini saat pulang libur semester) yang seharusnya memahami hal-hal "sepele" yang jaraknya hanya beberapa meter atau kilometer di hadapan kita. Jangan dulu membahas sesuatu yang berjarak dua juta tahun cahaya dari tempat duduk; seperti galaksi M31.
Galaksi M31 (Andromeda)
Sumber: https://apod.nasa.gov

  Bumi kecil kita begitu unik, paling tidak sampai saat ini, karena disanalah ditemukannya kehidupan selain dari "kehidupan" ala bintang-bintang. Sebagian dari miliaran planet tidak memiliki kehidupan, walaupun bahan dasar dari kehidupan yang ada di bumi juga ditemukan di berbagai tempat di Alam Semesta ini, tetapi hanya dengan bebagai "kebetulan" beruntun seperti di bumi lah kita akan merasakan suasana seperti di planet biru ini. Satu bab yang paling berkesan saat di bangku SMA adalah bab tentang Teori Evolusi. Materi pelajaran SMA tak banyak yang benar-benar membuat kita bertanya-tanya (jika tanpa inisiatif guru atau siswa), dan terutama Biologi tak lebih seperti serangkaian kata-kata ilmiah yang tak mewajibkan kita untuk berpikir namun apabila kita dapat menghapalnya dengan baik, maka kita telah dianggap paham akan ilmu ini. Namun sayangnya untuk materi evolusi ini, saya beserta teman-teman di kelas langsung diberikan pemahaman bahwa kita boleh saja tidak meyakini cabang ilmu ini namun saat ini cobalah untuk menerimanya, sebuah pembukaan yang begitu pesimis.

Sampul buku The Origin of Species

Sumber: http://www.wikiwand.com/
 
   Darwin, evolusi, dan The Origin of Species menjadi sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan, kalimat "untuk saat ini terima saja" seolah selalu dilontarkan bahkan di buku teks pelajaran. Wajar saja penolakan akan usulan ini mudah terjadi, bahkan untuk seseorang yang tidak memiiki argumen apapun sebelumnya yang dapat membantah teori ini. Namun untuk membahas Alam Semesta kita tidak dapat melewatkan bagian penting ini, bagian yang menjadikan debu-debu bintang dapat memahami bagian besar dirinya. Di bagian inilah menjadi titik krusial apakah zat-zat bintang yang berserakan dapat merenungkan asal-usulnya yang tak dapat dilakukan oleh bintang-bintang sekalipun.  Dan suatu saat terjadilah manusia. Namun bagaimana sebelum kejadian itu? Carl Sagan di bab Satu Suara dalam Fuga Kosmik menjelaskan dengan begitu indah hikayat kehidupan galaksi beserta kemungkinan-kemungkinannya.


Ada baiknya Satu Suara dalam Fuga Kosmik menjadi satu bab khusus pada buku teks SMA sebelum Teori Evolusi Darwin. Kisah armada perang berisikan samurai-samurai Heike di Jepang yang diluluh-lantakan oleh klan Genji dan nelayan yang mempercayai bahwa para samurai tersebut masih bersemayam di lautan dalam bentuk kepiting menjadi kisah pembuka sebelum bertemu dengan DNA, mutasi, kromosom, dan lainnya. Dampak dari Hikayat Heike yang terjadi pada nelayan memberikan gambaran kecil bagaimana proses evolusi berlangsung, bahkan oleh ketidaksadaran manusia yang mendorong proses evolusi tersebut. Dahulu, apabila nelayan menemukan kepiting yang memiliki pola unik seperti wajah samurai, kepiting ini tidak akan dimakan dan akan dikembalikan ke lautan karena mengingatkan nelayan akan kisah menyedihkan pada perang Danno-ura.

Kepiting Heike
Sumber: http://www.japanpowered.com/


Selama ratusan tahun kepiting yang dimakan di daerah sana hanyalah kepiting dengan pola-pola dan tanda selain pola samurai, sedangkan yang memiliki tanda unik ini dibiarkan hidup. Akibatnya misalkan saya adalah seekor kepiting dengan pola samurai, saya dapat menjamin keberlangsungan hidup saya sehingga peluang saya memiliki keturunan dengan pola yang mirip (karena pewarisan sifat) juga lebih besar dan juga tentunya dapat menghasilkan keturunan dengan spesifikasi tersebut lebih banyak. Untuk generasi pertama mungkin tidak akan begitu kelihatan dominasi saya, kerabat dekat, beserta keturunan saya. Mungkin polanya jika dilihat secara rata-rata hanya menggambarkan bentuk tak jelas yang seolah-olah hampir menuju bentuk wajah. Namun karena proses diskualifikasi yang dilakukan beruntun dari generasi ke generasi, menyebabkan bentuk kepiting yang benar-benar dominan hanya tinggal bentuk manusia, bahkan jika dilanjutkan sampai generasi berikutnya nelayan akan lupa dengan rasa kepiting karena semuanya mirip samurai. Proses ini disebut sebagai seleksi alam. Pada kasus kepiting diatas, terlihat bahwa kepiting tidak memiliki keinginan untuk diseleksi, bahkan sang penyeleksi (nelayan) juga tidak menyangka bahwa mereka sedang mendorong suatu proses yang berdampak signifikan pada alam. Siapa yang akan menyangka Hikayat Heike akan menjadi pemicu proses seleksi alam, luar biasa.

Berbicara Alam Semesta tidak mungkin melewatkan bahasan tentang bagaimana sang juru bicara tercipta. Pada proses seleksi kepiting Heike bukan suatu yang sulit untuk diterima kenyataannya, begitu juga tentang bagaimana alam semesta terbentuk, bagaimana awal kehidupan, dan pertnyaan-pertanyaan bagaimana lainnya. Paling tidak pertanyaan tersebut lebih mudah diterima daripada tentang bagaimana manusia tercipta dan akhirnya manusia ada. Masih terdapat banyak sekali alternatif, dari berbagai pendekatan. Argumen saya dalam hal ini sebagai seorang Muslim yang telah dengan dengan jelas tercantum di dalam agama tentang kejadian manusia tak mungkin dapat dipungkiri. Akan tetapi apakah dengan mengecualikan manusia pada proses evolusi (atau kembali meng-eksklusif-kan proses evolusi manusia dibanding makhluk lain) serta merta meruntuhkan teori evolusi yang dalam hal ini mengambil pendekatan ilmiah dan tentunya proses berpikir secara dramatis dalam berpuluh tahun? Dan juga sebaliknya. Apakah dengan menerima teori evolusi serta merta (juga) mengurangi pengakuan terhadap kekuasaan Tuhan?



Postingan ini akan bersambung dengan pembahasan Kosmos (Carl Sagan) lebih lanjut. Nantikan!