Minggu, 26 November 2017

Tikus Mati di Gang Pelesiran (sebuah fiksi)

Kami sekarang berlima, pulang dari kampus sebagai peserta uji dengar, mencoba berkemahasiswaan. Sambil jalan, sambil berkomentar tentang jalannya uji dengar tadi serta tentang calon-calon presiden kampus. Pukul satu malam serasa pukul empat sore, bedanya tak ada orang dan tak ada gerobak jajanan.

Sampai ditengah-tengah Jalan Pelesiran, hampir menuju warkop yang jadi tempat perhentian di malam ini, kami dihentikan oleh jasad dari tikus, tikus yang telah mati, sepertinya. Kami terpana, lalu saling bertatap mata, lalu melanjutkan langkah menuju warkop.

Tak seperti biasanya, kami tak langsung berkata setengah teriak memesan indomi goreng dobel pakai telor. Masih terdiam, seperti setelah mendapatkan nilai ujian tengah semester.

"Harus ada yang memulai pembicaraan", ujarku di dalam batin. Tapi tak mungkin, aku hanyalah mahasiswa biasa. Setidaknya dibandingkan dengan empat temanku yang lain. Jadi, kuputuskan untuk diam saja.

sumber: http://tomandjerry.wikia.com

"Tikus mati itu membuat nafsu makanku tidak ada, silahkan bagi yang ingin memesan mie atau bubur untuk duluan saja." Kata temanku, si Aleks. Entah dibuat-buat atau memang ia tidak punya keinginan makan, kurasa tikus yang mati tadi hanya jadi alasannya saja.

"Bagaimana pun, tikus mati tadi adalah bukti bahwa mahasiswa sudah jauh dari masyarakat. Lingkungan yang tidaklah begitu jauh dari gerbang kampus, tapi begitu menjijikkan, tidak menggambarkan intelektual mahasiswanya." Badu memulai pembicaraan dengan nada sedikit ditekan, persis seperti ketika ia berkampanye.

Sebenarnya tikus itu tidaklah begitu jauh, aku yang duduk di paling pinggir masih bisa melihatnya. Tapi tidak seperti Aleks, tikus mati tikus hidup tidak dapat mempengaruhi selera makan. Sambil telinga mendengarkan Badu berkoar panjang lebar, aku perhatikan tikus yang terkapar. "Ada sesuatu yang kurang." masih ujar ku di dalam batin, karena aku mahasiswa biasa.

"Kau tidak bisa menyalahkan mahasiswa kampus kita terus, Du!" dengan nada sedikit membentak oleh Dian, perempuan aktifis pusat, memotong pidato Badu. "Memang langkah kita masih kecil, memang jejaknya belum membekas. Tapi lihatlah potensinya, lihatlah bahwa mahasiswa masih peduli!"

Sabtu, 04 November 2017

Connecting the Dots

Ir. Syamril saat memberikan materi
Pada acara Mabit Ashabul Qur'an dan Gerakan Subuh Jamaah Nasional kali ini menghadirkan Ir. Syamril, M.Pd sebagai pemateri untuk agenda malamnya. Beliau merupakan Koordinator Yayasan Kalla dan Kepala SDM Kalla Group.

Menurut pendapat beberapa teman saya, materi dengan tema "Menghidupkan Kembali Api Kepahlawanan Pemuda" ini cukup memberi banyak insight baru. Tapi bagi saya yang paling menarik adalah pada pernyataannya tentang visi. Visi adalah hal yang cukup krusial dalam upaya menghidupkan "api kepahlawanan" tersebut, jadi pembahasan visi adalah yang paling menarik.

Di salah satu bagiannya, beliau menganalogikan bagaimana seorang mahasiswa yang belajar tanpa tahu tujuan kedepannya seperti seorang atlet olimpiade yang berlatih tanpa tahu cabang apa yang akan ia ikuti. Ketika beliau menyampaikan sembari menggunakan slide presentasi, pikiran saya terbang mengingat pidato dari mantan CEO Apple Inc untuk wisudawan Stanford University pada tahun 2005.

Dalam pidato tersebut, menceritakan tiga cerita dalam hidupnya; tentang 'Connecting the Dots', 'Love and Loss', dan 'Death'. Tiga kisah ini sangat inspiratif yang pembaca dapat saksikan di berbagai media. Hanya saja pada post kali ini saya akan mengambil sedikit bagian dari 'Connecting the Dots'.